Skip to main content

Posts

enak ya, jadi anak tunggal.

Gimana rasanya punya bahu untuk bersandar dan atap untuk berteduh? Ngga, saya ngga tau. Mungkin belum. Tapi kalau boleh jujur, semuanya terlalu berat untuk dipikul sendirian. Entah massanya yang berlebih atau pundak saya yang terlampau ringkih. Jadi anak tunggal ngga seenak yang orang lain bayangin. Ada hari ketika semuanya ngga baik-baik aja dan saya butuh seseorang yang paling paham untuk bertukar pikiran, tapi lagi-lagi yang terdengar cuma suara sendiri. Kadang saya bertanya tanya gimana rasanya punya tangan lain, meskipun rapuh tapi bisa saling menggenggam. Punya kepala lain, meski sekeras batu tapi bisa saling mengingatkan. Punya kaki lain untuk beriring, meskipun terluka tapi bisa saling mengobati. Sebab sampai sekarang, tubuh saya yang payah ini belum mampu menyembuhkan lukanya sendiri.
Recent posts

—Sudah kuambil, terimakasih.

Saya sedih. Nggak tau karena apa. Saya cerita ke angin malam ini dia cuma jawab shhhhh ssshhhh , mungkin maksudnya "Nggak usah berlebihan, maumu kebanyakan." Saya sedih. Nggak tau karena siapa. Saya tanya ke awan dia diam saja terus setelahnya turun hujan. Padahal saya nggak minta dinasihati, cuma ditemani. Semesta bosan dan lelah lihat saya atau justru sebaliknya? Sekali lagi saya tanya langit. Dia senyum, "Aku titip peluk lewat gemuruh besok sore. Jangan lupa diambil." Nggak tau maksudnya apa. Tapi aku tenang.

Tujuh Belas - 12:20 AM

Dunia sudah abu-abu sejak aku membuka mata untuk pertama kalinya. Siang ke malam aku riang lihat awan. Meskipun pada saat itu semua masih tampak semu karena aku belum bisa apa-apa. Tak ada yang bisa kudengar selain suaraku sendiri, juga tak ada yang bisa kulihat selain kedua tanganku sendiri. Yang jelas orang-orang ramai tepuk tangan melihat aku yang berceloteh ingin mainan. Sesaat kemudian mereka terbang, jauh sekali, dan aku tak pernah melihat mereka kembali. Aku kira warna abu-abu yang kulihat dibagian awal kelak akan berganti jadi merah, hijau, biru, putih, ungu, atau mungkin perpaduan dari semuanya. Aku keliru. Lantas aku mengadah, mencari seseorang di atasku; bulan, bintang, matahari, atau apapun itu. Tapi tak ada siapa-siapa. Langit itu kosong. Bahkan bintang yang katanya sedia disampingku ikut pergi tinggalkan aku yang kakinya masih menginjak bumi. Semakin kesini segalanya terasa masuk akal. Sampai aku ada di titik dimana aku sadar bahwa aku benar-benar sendirian. Di d

Aku Ada (1)

semesta berteriak tepat di telingaku kemarin malam, katanya, langkah kita tak akan pernah bisa sejajar, kau ambisi ke kanan kiri, padahal di belakangmu ada aku yang selalu ingin imbang meski jarang berujar. semestinya bagaimana, Tuan? rasanya sekadar bayangan pun sukar kau lihat dari terbit cahaya sampai padam. —Vin, ilusijinga. Dari aku yang sudah menyayangimu sejak kemarin hari.

Untuk Siapa?

saya ingin berteriak sekeras-kerasnya, ingin menangis sepilu-pilunya, ingin tertawa segaduh-gaduhnya, tetapi untuk siapa? kepada siapa teriakan itu saya tujukan? kepada siapa tangis itu saya luruhkan? kepada siapa tawa itu saya bagikan? pertanyaannya, kepada siapa? rasanya angin pun bosan mendengar saya yang banyak ceritanya. apa... saya harus melebur bersama langit agar kita tak lagi sama-sama kesepian? —Vin, ilusijingga.

Terperangkap

Dua pagi aku terbangun setelah lama tidak terjaga Hanya debu yang dirasa Tidak ada gerimis atau angin malam yang menyentuh indera Pandangan pun terbatas, tidak ada langit di atas kepala tidak ada ruang untuk aku bergerak Juga tak ada gema untuk aku berteriak Aku hanya ingin udara dan berhenti merangkak Setiap detik kuminta pada Tuhan agar dapat melihat awan berarak aku terperangkap: dalam kubus kecil yang pengap. —V, ilusijingga.

Pertanyaan Sederhana

Setiap hari muncul beribu pertanyaan di kepala saya. Dari mulai hal kecil sampai ke persoalan yang saya sendiri tidak tahu persis apa jawabannya. Namun dari banyaknya pertanyaan itu, ada satu yang membuat saya seketika diam tanpa suara. pertanyaan sederhana. "Saya ini siapa?" —V, ilusijingga.