Gimana rasanya punya bahu untuk bersandar dan atap untuk berteduh? Ngga, saya ngga tau. Mungkin belum. Tapi kalau boleh jujur, semuanya terlalu berat untuk dipikul sendirian. Entah massanya yang berlebih atau pundak saya yang terlampau ringkih. Jadi anak tunggal ngga seenak yang orang lain bayangin. Ada hari ketika semuanya ngga baik-baik aja dan saya butuh seseorang yang paling paham untuk bertukar pikiran, tapi lagi-lagi yang terdengar cuma suara sendiri. Kadang saya bertanya tanya gimana rasanya punya tangan lain, meskipun rapuh tapi bisa saling menggenggam. Punya kepala lain, meski sekeras batu tapi bisa saling mengingatkan. Punya kaki lain untuk beriring, meskipun terluka tapi bisa saling mengobati. Sebab sampai sekarang, tubuh saya yang payah ini belum mampu menyembuhkan lukanya sendiri.
Saya sedih. Nggak tau karena apa. Saya cerita ke angin malam ini dia cuma jawab shhhhh ssshhhh , mungkin maksudnya "Nggak usah berlebihan, maumu kebanyakan." Saya sedih. Nggak tau karena siapa. Saya tanya ke awan dia diam saja terus setelahnya turun hujan. Padahal saya nggak minta dinasihati, cuma ditemani. Semesta bosan dan lelah lihat saya atau justru sebaliknya? Sekali lagi saya tanya langit. Dia senyum, "Aku titip peluk lewat gemuruh besok sore. Jangan lupa diambil." Nggak tau maksudnya apa. Tapi aku tenang.